PARIS, KOMPAS.com – Hingga saat ini, energi nuklir atau pembangkit listrik tenaga nuklir ( PLTN) berkontribusi sekitar 10 persen dari seluruh produksi listrik dunia.
Kendati berkontribusi cukup besar dalam sektor ketenagalistrikan, tenga nuklir masih dianggap sebagai salah satu sumber energi yang kontroversial.
Melansir AFP, energi nuklir semakin terpojok ketika tsunami memicu bencana nuklir di Fukushima, Jepang, pada Maret 2011.
Kini, setelah 10 tahun sejak bencana itu terjadi, AFP merangkum pengembangan dan “krisis” yang dialami energi nuklir di seluruh dunia.
Jumlah reaktor semakin sedikit
Seorang analis dan konsultan independen untuk kebijakan energi dan nuklir yang berbasis di Perancis, Mycle Schneider, mengatakan bahwa energi nuklir mengalami “krisis” bahkan sebelum bencana nuklir Fukushima.
“Itu adalah industri yang mengalami krisis serius secara global sebelum peristiwa Fukushima terjadi. Krisis ini semakin memburuk sejak saat itu,” kata Schneider.
Tingginya biaya konstruksi dan kekhawatiran tentang keselamatan dalam PLTN telah mendinginkan minat dalam industri.
Dua faktor itu membuat jumlah reaktor nuklir telah menyusut dalam 10 tahun terakhir.
Pada 2010, total ada 429 PLTN di seluruh dunia. Pada akhir 2020, jumlah PLTN di seluruh dunia menyusut menjadi 412.
Meski jumlah PLTN menyusut, sebaliknya, kapasitas terpasang PLTN di seluruh dunia justru meningkat.
Pada 2010, ada 365,3 gigawatt kapasitas terpasang PLTN di seluruh dunia. Pada 2020, kapasitas terpasang PLTN menjadi 367,1 gigawatt.
Ini menandakan, PLTN baru yang dibangun memilik kapasitas terpasang yang sangat besar dan beberapa PLTN lama meningkatkan kapasitas terpasangnya.
Jerman memutuskan untuk meninggalkan energi nuklir pada 2022 setelah bencana Fukushima terjadi.
Dua negara di Benua Eropa, Belgia dan Swiss, menyusul langkah Jerman dengan berencana menghentikan penggunaan PLTN.
Namun, di belahan dunia lain, China berencana untuk mengembangkan sektor ini dengan membangun beberapa proyek baru.
“Negeri Panda” kini adalah rumah untuk 25 dari 57 reaktor yang sedang dibangun di seluruh dunia dalam 10 tahun terakhir.
Kendati dinilai cukup masif dalam mengembangkan PLTN, rencana China sebenarnya tak luput dari pengaruh bencana Fukushima.
Schneider beranggapan, adanya bencana Fukushima membuat China mengerem ambisinya untuk tidak terlalu “brutal” dalam membangun PLTN.
“(Fukushima) sangat mengejutkan para pembuat kebijakan di China, dan ini menyebabkan penurunan yang cukup besar dari ambisi nuklir di China,” kata Schneider.
Di tempat lain, Bangladesh, Belarus, Uni Emirat Arab (UEA), dan Turki telah meluncurkan proyek pembangunan PLTN.
Polandia, yang masih mengandalkan energi batubara yang berpolusi tinggi, ingin masuk ke pembangkit listrik bertenaga atom itu.
Biaya dan keuntungan
Selain kekhawatiran tentang keselamatan dan pembuangan limbah nuklir, PLTN menghadapi persaingan yang semakin meningkat dengan energi terbarukan, yang sekarang ini harganya semakin terjangkau.
Bencana Fukushima memaksa sektor energi nuklir untuk mengadopsi langkah-langkah keselamatan terbaru.
Hal ini tentu berimplikasi pada peningkatan biaya, bahkan hingga sepertiganya, dalam 10 tahun terakhir, menurut kelompok keuangan Lazard.
Sebaliknya, biaya untuk pengembangan tenaga angin dan matahari telah turun masing-masing sebesar 70 persen dan 90 persen antara 2009 hingga 2020.
Para pendukung energi nuklir berpendapat bahwa PLTN juga merupakan sumber energi yang mengeluarkan sangat sedikit emisi karbon.
“Berbagai teknologi, termasuk tenaga nuklir, akan dibutuhkan untuk transisi energi bersih di seluruh dunia,” kata International Energy Agency (IEA), yang menasihati negara-negara kaya tentang kebijakan energi.
Meski demikian, masa depan energi nuklir masih sangat tidak pasti.
Dalam proyeksi terbarunya, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memaparkan, kapasitas PLTN global dapat meningkat 82 persen pada 2050 di bawah skenario optimistis.
Sedangkan di bawah skenario pesimistis, PLTN dapat turun sebesar tujuh persen pada 2050.
Masa depan
Industri nuklir telah memfokuskan perhatiannya pada reaktor modular kecil (SMR), bergeser dari struktur yang lebih besar dan lebih bertenaga.
Rusia sudah menggunakan metode tersebut.
Amerika Serikat ( AS), yang memiliki reaktor nuklir terbanyak di dunia, dan negara-negara lainnya seperti Perancis dan Inggris juga telah menunjukkan minat pada teknologi tersebut.
Beberapa negara sedang mengembangkan reaktor generasi keempat yang akan menghasilkan lebih sedikit limbah nuklir.
#Tahun #Setelah #Bencana #Fukushima #Bagaimana #Nasib #Energi #Nuklir #Masa #Depan
Klik disini untuk lihat artikel asli